"Random"
"Mengapa?"
"Aku bahagia namun mulai merasa takut".
"Adakah hal yang membuatmu merasa begitu khawatir?"
"Iya. Tidak satu. Bahkan sekarang bertali-tali menyambung dalam simpul kusut".
"Lalu?"
"Hmm. Anggap saja sudah terlalu banyak hal yang memaksa untuk dirasakan dan diri akhirnya menjadikannya sebuah hasil kalkulasi yang menghilang tanpa terlebih dulu bisa disimpulkan. aku hanya meyakini bahwa hidup orang, siapapun itu tidak akan pernah lurus"
"Ceritakan!"
"Baiklah, baca baik-baik!"
Saat ini aku sedang membangun mimpi lewat semesta ku dan semestanya akan kurencanakan dengan Tuhan untuk menyatukan semesta ku dan semestanya. Yah. Benar. Aku sedang mencintai sosoknya yang mengetuk hidup ku beberapa waktu terakhir. Kemudian ku persilahkan masuk dan ku perintahkan duduk. Mata hati kita memadukan rasa yang sama rasa yang kita sebut sayang. Kita berbincang menceritakan bait-bait kisah dahulu. Apapun itu aku dapat memastikan padanya, cinta ku bukan sekedar cerita fiktif . Ini nyata. Yah sekali lagi ini nyata. Cinta yang sejujurnya tak bisa ku jelaskan kapan dimana rasa itu bertempur menjadi rasa takut kehilangan. Dia punya masa lalu. Dia punya cerita. Sama seperti diriku. Past, sebut saja begitu. Aku mulai takut jika dia masih bermain-main dengan masa lalunya. Tidak salah. Memang. Tapi rasa khawatir, rasa itu mulai menjalar sampai ke ubun-ubun. Pertanyaan, serius apa tidak dirinya? Masikah dia menyimpan rapi masa lalunya? Atau masih berharapkah dia dengan masa lalunya? Entah mengapa aku mulai takut ketika ia menggandeng hidupku kemudian perlahan melepasnya. Dan memutar arah ke masa lalunya. Yah semua orang pandai bersandiwara berbohong semaunya tentang dirinya tentang perasaannya. Semoga dia tidak. Ingin sekali aku mengatakan padanya. "Ini waktu kita sayang, kita tunjukan kepada Tuhan. Bahwa Dia tidak akan mempertemukan kita secara sengaja tanpa alasan. Dia tidak akan memberi kita satu rasa yang kita satukan. Dia tidak akan menciptakan rasa 'rindu' yang dahsyat diantara kita tanpa sebuah jawaban. Semua ini skenario-Nya. Kita hanya perlu menjaga dan menuntun pada akhir titik sempurna cerita-Nya". Dia masih berteduh duduk manis, kali ini aku akan melarang dia pergi. Akan ku kunci rapat-rapat. Biarkan aku dan dia tetap tinggal pada rumah yang kusebut 'kebersamaan'.
Pada suatu masa aku hanya berharap, setelah Tuhan dan keluarga pilihlah 'aku' menjadi bait kalimat "present" dalam setiap kau bernafas. Maukah?
Disela nafas kita,
R A F I K A


Tidak ada komentar:
Posting Komentar